Resume dan Review buku "Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?" khusus BAB 2 (Kemunculan Soeharto)
Posted by : Unknown
Selasa, 15 November 2016
KEMUNCULAN SOEHARTO
Nama Soeharto belum
banyak dikenal sebelum 1 oktober 1965. Namanya tiba-tiba muncul setelah dirinya
atas inisiatif sendiri sebagai panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan
Darat (pangkostrad) mengambil alih pimpinan angkatan darat menyusul aksi
penjemputan paksa enam perwira tinggi Angkatan Darat oleh Gerakan 30 Sepetember
atau yang biasa dikenal dengan istrilah G30S.
Pada awal-awal kekuasaannya banyak yang mengira soeharto tidak akan
bertahan lama, namun ternyata dia
memiliki kemampuan politik yang sangat tinggi.
Pada Jumat pagi tanggal 1 Oktober 1965, sebuah gerakan
yang menamai diri mereka dengan sebutan G30S dengan membawa senjata bergerak
menuju kediaman perwira tinggi Angkatan Darat hendak membawa jenderal tersebut
ke hadapan Presiden Soekarno. Namun pada kenyataannya mereka tidak pernah
dibawa ke istana. Sekelompok bersenjata itu justru menjemput paksa dan dan
membunuh enam orang jenderal dan seorang perwira pertama, yaitu Letnan Jenderal
Ahmad Yani selaku Menteri/Panglima angkatan Darat, Mayjen R Soeprapto selaku
Deputi II menteri/panglima Angkatan Darat, Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono selaku
Deputi III Panglima Angkatan Darat, Mayjen Siswondo Parman selaku Asisten I
Panglima Angkatan Darat, kemudian ada Brigjen Donald Izacus Pandjaitan sebagai
Asisten IV Panglima Angkatan Darat, Brigjen Soetojo Siswomiharjo sebagai
inspektur kehakiman/oditur jenderal AD dan Lettu Pierre Andreas Tendean sebagai
ajudan menko hankam. Kemudian ada Menko Hankam Jenderal Abul Haris Nasution
tetapi meloloskan diri.
Di tanggal yang sama, 1 Oktober 1965, RRI Jakarta
mengumumkan tentang Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Komandan Batalyon I
resimen Tjakrabirawa ( Pasukan pengawal Presiden Republik Indonesia) Letkol
(inf) Untung. Selain itu juga diumumkan bahwa Dewan Revolusi telah
menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta
pada 5 oktober 1965. Sementara menurut Soeharto, pihak paling gencar
menghembuskan isu keberadaan Dewan Jenderal adalah PKI.
Berdasarkan
pengumuman dari RRI Jakarta, tanggal 1 Oktober 1965 resmi dijadikan sebagai
awal berdirinya masa Ode Baru.
Soeharto
sebenarnya telah mengetahui penculikan
para Jenderal beberapa hari sebelum 30 September 1965. Komandan Brigade
Infanteri I Jaya Sakti lah yang melaporkan rencana aksi Dewan Jenderal kepada
Soeharto di rumahnya. Soeharto juga mendapat informasi tersebut dari salah
seorang mantan anak buahnya di Yogyakarta yang bernama Soebagyo mengenai Dewan
Jenderal yang hendak melakukan coup d’etat terhadap Presiden Soekarno pada 5
Oktober 1965.
Pagi
hari 1 Oktober 1965, Soeharto berangkat ke kostrad seorang diri tanpa
didampingi ajudan dan pengawal dalam situasi yang sedang genting.
Dalam
kedudukannya sebagai Pangkostrad, Soeharto secara sepihak memberlakukan keadaan
darurat. Sekitar pukul 10.00 WIB,
Soeharto menelepon Menteri/Panglima Laksyada Laut RE Martadinata,
Jenderal polisi Sucipto Yudhodiharjo dan Laksyda Udara Omar Dhani, yang
diterima oleh Panglima AU Leo Wattimena,
untuk memberi tahu bahwa ia mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat untuk
sementara dan meminta untuk tidak menggerakan pasukan tanpa sepengetahuannya.
Di
Halim Presiden Soekarno melalui Komisaris Besar Polisi Sumirat kemudian ajudan
Presiden Kolonel Bambang Widjanarko memanggil panglima kodam Jaya V Mayjen Umar
Wirahadikusumah dan asisten men/pangad bidang personel Mayjen Pranoto
Reksosamodra pada malam hari untuk menghadap. Diwaktu yang merbeda, Soeharto
menyampaikan pesan pada Pranoto dan Umar tidak dapat menghadap. Hal itu membuat
Presiden Soekarno kurang senang dan marah.
1
Oktober 1965, Soeharto mampu bertindak dengan efisien yang luar biasa. Wertheim
mengatakan, Soeharto sedikit banyak sudah mempunyai bayangan G30S akan terjadi
dan ia tidak akan menjadi sasaran. Sejak awal ia sudah tahu inilah sebuah aksi
yang bias dipakai untuk menyalahkan PKI. Masalah yang harus dihadapinya saat
itu adalah apakah ia bias mengalahkan G30S dan melaksanakan rencana Angkatan
Darat untuk menyerang PKI dan menggulingkan Soekarno.
John
Rossa mengatakan beg terjadi. itu Soeharto pagi itu menyatakan tekadnya untuk
menghancurkan G30S maka ia memutuskan untuk tidak menghiraukan
perintah-perintah presiden Soekarno. Dan bentrokan dengan PKI terjadi. Soeharto
tidak membiarkan presiden memberikan perlindungan kepada para pengikut G30S.
Sejak
pagi 1 Oktober 1965, Soeharto sudah tahu bahwa G30S sangat mungkin dipakai
sebagai dalih untuk mengantar Angkatan Darat ke tampuk kekuasaan. Kecepatan
Angkatan Darat mempermasalahkan PKI, mengorganisasi kelompok sipil antikomunis dan
merancang kampanye propaganda memberi kesan adanya persiapan.
Begitu
pasukan Soeharto merebut kembali Lapangan Merdeka dan stasiun RRI pada pukul
18.00 WIB, satu jam kemudian ia membacakan pengumuman yang menyatakan bahwa
G30S sebagai kontrarevolusioner. Lima pimpinan inti G30S menyaari bahwa mereka
telah kalah di Jakarta. Mereka tidak bias mengambil keputusan yang strategis
untuk melawan Soeharto. Mereka tidak mendesak Angkatan Udara di Halim untuk
mengebom konstrad pada malam hari 1 Oktober 1965. Komandan Batalyon 454 atas
prakarsa sendiri hamper terlibat dalam petempuran dengan pasukan RPKAD, tapi
mengundurkan diri memenuhi permintaan para perwira AURI yang tidak menginginkan
adanya pertempuran di sekitar pangkalan Udara. G30S tidak lagi mempunyai sisa
kelompok pasukan yang cukup besar.
Pada
waktu bersamaan Atase Militer Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta colonel
Willis Ethel berhasil menjalin kontak dengan jenderal Nasution yang masih dalam
persembunyian. Kemudian Ethel mengirim bantuan 24 pesawat walkie-talkie dan
melaui pihak ketiga menyusul bantuan senilai 400000 dollar AS berupa
obat-obatan dan peralatan komunikasi.
Bantuan
tersebut diputuskan CIA berdasarkan laporan konsul AS pada 2 Oktober 1965 di
Medan pukul 11.56 WIB bahwa “pihak militer Indonesia akan segera melancarkan
operasi menumpas PKI. Mengingat rumitnya persoalan serta luasnya implikasi
selanjutnya, mereka tmpaknya membutuhkan bantuan kita.”. memo inteligen CIA
pada 5 Oktober 1965 memastikan kekuatan Soekarno berikut dukungannya para
loyalitasnya bakal terus melemah dan disimpulkan for Army leaders it was now or
never.
Ketika
menduduki Pangkalan Udara Halim, jenderak-jenderal MBAD yang telah diculik
semuanya mati dan mayatnya dikubur disuatu tenpat didaerah pangkalan itu.
Soeharto memerintahkan mayat-mayat mereka hanya akan digali apabila sudah
diintruksikannya pada 3 Oktober 1965.
4
Oktober 1965 sore hari, dengan disaksikan para juru kamera dan wartawan
televise, radio, pers, mayat keenam jenderal dan seorang perwira pertama ajudan
Nasution itu diangkat dari sebuah sumur tenpat mereka dibuang.
Beberapa
jam setelah pengangkatan jasad para korban pembunuhan G30S di lubang buaya di
luar wilayah Halim Perdanakusuma, Soeharto memerintahkan pembentukan tim
forensic yang terdiri dari dua dokter tentara brigjen dr. roebiyono dan dr.
frans Pattiina dan tiga ahli forensic sipil dari fakultas kedokteran
Universitas Indonesia. Beberapa jam diotopsi, mayat ternyata dalam keadaan
utuh, tidak ada bekas siksaan sebelum mereka dibunuh.
Jenazah
para pahlawan Revolusi tersebut diberangkatkan ke TMP kalibata pada 5 Oktober
1965. Presiden Soekarno tidak menghadiri acara pemakaman tersebut akan tetapi
sore harinya beliau datang ke pemakaman untuk menaburkan bunga di makam para
pahlawan revolusi tersebut.
Propaganda
media massa sangat efektif untuk menumbuhkan rasa kebencian masyarakat terhadap
PKI dan underbouw-nya. Pembunuhan massal menjadi pemandangan yang biasa sejak
Oktober 1965 dan berpuncak pada Desember 1965. Sasaran utama pembunuhan adalah
kaum komunias dan yang dituduh komunis.
Pengkeramatan
peristiwa yang telatif kecil (G30S) dan penghapusan peristiwa bersejarah
tingkat dunia (pembunuhan massal 1965-1966) telah menghalangi empati terhadap
keluarga korban laki-laki dan perempuan yang hilang. Sementara itu, berdiri
sebuah monument di dekat sumur, tempat tentara G30S membuang jasad ujuh perwira
Angkatan Darat 1 Oktober 1965, tetapi tidak ada satupun monument yang menandai
kuburusan massal yang menyimpan ratusan ribu orang yang telah dibunuh atas nama penumpasan G30S. begitu sedikit yang
diketahui jumlah yang mati, nama, lokasi kburan massal, cara bagaimana mereka
dibantai dan jati diri para pelaku. Di luar lubang buaya tersimpan misteri
lebih banyak dan lebih ruwet lagi.
Sebelum
peristiwa G30S meletus, setidaknya ada tiga kelompok yang saling bersaing di
Angkatan Darat. Pertama, kelompok J. A.H. nasution. Kedua, Kelompok panglima
Ahmad Yani. Ketiga, Kelompok Pangkostrad Soeharto. Nasution menganut garis
keras dalam menghadapi Presiden Soekarno, Ahmad Yani justru merangkul sang
Pemimpin Besar Revolusi dan Soeharto erdiri disudut dengan perasaan yang
diremehkan kelompok Yani yang berkuasa.
Soeharto
tidak mempunyai hubungai baik dengan keduanya. Tetapi, sesuatu yang tidak
mungkin ia berusaha membunuh keduanya. Masuk akal ia menahan diri untuk tidak
memberitahukan kepada Nasution dan Yani tentang rencana G30S karena menunggu
apa yang akan terjadi. Soeharto oportunis yang cerdik dan mempunyai perhitungan
sendiri. Ketika terbukti sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat dibunuh,
Soeharto mempunyai alas an untuk membantai PKI dan menyingkirkan kaum
Soekarnois. Dengan tindakan itu, Soeharto membangun jaringan di kalangan
golongan antikomunis dan anti-Soekarno sekaligus membersihkan competitor yang
menjadi penghalang mendapatkan kekuasaan setelah Soekarno jatuh.
Pecahnya
peristiwa G30Sbmenyebabkan terbentuknya kesatuan aksi yang bertujuan untuk
membersihkan PKI dan segenap unsurnya pada 2 Oktober 196525 Oktober 1965
dibentuk KAMI dengan membawa isu tritura (pembubaran PKI, retoel cabinet dwikora dan turunkan harga
barang) memperoleh dukungan militer. Beberapa pimpinan KAMI pusat ditangkap
pada 9 februari 1966 dan ditahan beberapa hari yang membuat dukungan militer
terhadap aksi-aksi mahasiswa semakin menguat.
Soeharto dan sekutu-sekutunya secara aktif mendorong
keeruntuhan ekonomi Indonesia dengan membelokkan dana dari Jakarta dan bank
Indonesia untuk menciptakan pemerintahan parallel. Pemerintah AS dan inggris
mengerti dan menyetujui pembentukan Negara dalam sebuah Negara yang dipimpin
oleh tentara ini. Konsulatnya di medan melaporkan komandan-komandan tentara di
sumatera utara mengumpulkan sejumlah uang dari para pedagang beras, penggiling
karet, dan pembuat rokok sebagai biaya perlindungan. Pada awal Februari,
Soeharto dan ibnu sutowo mengatakan kepada Julius Tahija dari Caltex bahwa
tentara memerlukan dana untuk mengimpor kebutuhan mereka sendiri. Keduanya
memerintahkan Caltex membayar 60 persen jatah pemerintah Indonesia dan
pendapatan minyak ke rekening tanpa nama di Belanda bukan di Bank Indonesia.
Pengalihan
tiga sumber devisa terbesar Indonesia merupakan pukulan yang telak erhdap
pemerintah Soekarno dan efektif menutup akses pemerintah terhadap mata uang
yang relative stabil. Sementara perekonomian Indonesia di ambang kehancuran dan
pengetatatn terus membayangi, militer menghimpun sumber-sumber dana yang
diperlukan untuk melanjutkan tekana tergadap PKI, mempertahankan kesetiaan para
prajuritnya dan memperlihatkan ketidakberdayaan pemerintahan Soekarno untuk
memenuhi kebutuhan sandang dan pangan penduduknya.
Presiden
Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden No 41/kogam/1966 yang berisi
pembubaran KAMI untuk menghadapi semakin solidnya gerakan mahasiswa.
Siding
cabinet lengkap berlangsung di Jakarta pada 11 Maret 1966. Mahasiswa kembali
turun ke jalan menghalangilalu lintas dan mengenpiskan ban-ban mobil disekitar
istana. Yang mencolok adalah ketidakhadiran Soeharto yang dikatakan sakit
tenggoran ringan.
Ketika
Presiden Soekarno sedang berpidato, salah seorang dari ajudannya menyela dan
menyerahkan selembar nota. Nota itu berisi informasi sekelompok pasukan tak
dikenal yang menanggalkan segala tanda pengenal mereka sehingga indentitasnya
tak diketahui telah menduduki posisi mengepung istana.
Pangdam
Jaya Mayjen Amir MAchmud, Menteri perindustrian MAyjen Muhammad Jusuf dan
MAyjen Basuki Rachmat melaporkan kejadian tersebut kepada Soeharto yang
memerintahkan mereka menemui Presiden Soekarno di Bogor. Senja hari mereka
bertemu dengan presiden didampingi tiga dari empat wakil perdana menteri.
Pembicaraan mereka menghasilkan Surat Perintah 11 Maret yang kelak terkenal
dengan nama “supersemar” yang isinya presiden “memerintahkan” Soeharto untuk
“mengambil segala tindakan yang dianggapnya perlu demi menjamin keamanan,
ketenangan, stabilitas pemerintah dan revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi
serta kewibawaan Presiden/panglima tertinggi demi kesatuan republic Indonesia
dan untuk meneruskan segala ajaran pemimpin besar revolusi”.
9
Maret 1966 Soharto meminta bantuan Hasyim Ning dan dassad yang sangat dekat
dengan presiden Soekarno untuk berbicara mengenai suatu surat yang bias
diberikan kepada dirinya. Keduanya pergi ke Bogor pada 10 Maret 1966 dan
mengusulkan pada Presiden Soekarno agar embuat surat untuk menciptakan
ketertiban dan keamanan. Akan tetapi Soekarno menolak.
12
Maret 1966, Soeharto mengeluarkan perintah harian yang ditujukan kepada seluruh
jajaran angkatan bersenjata dan rakyat Indonesia. Atas nama presiden, ia
memerintahkan pembubaran PKI dengan segala organisasi mantelnya di seluruh
tanah air, sambil tetap harus “berpegang teguh kepada panca Azimat Revolusi
Indonesia”.
Harold
Crouch mengatakan, tindakan Soeharto telah menjebak para pendukung presiden
dalam keadaan tak berdaya untuk membelanya. Supersemar dibuat tanpa persetujuan
para panglima Angkatan Laut, Udara dan Kepolisian serta kelompok Soekarnois
dikalangan tentara.
Gerakan
mahasiswa selesai setelah tentara berhasil mengambil alih kekuasaan dari
Soekarno melalui supersemar, yang juga dianggap sebagai kemenangan mahasiswa.
Soeharto melampaui wewenang yang diberikan hanya sebatas memulihkan keamanan
dan tidak pernah melaporkan tugasnya pada Presiden Soekarno. Bahkan ia
mendorong partai politik dan mahasiswa untuk mendongkel Soekarno dari
kekuasaannya. Soekarno masih tetap aktif sebagi presiden, tetapi kekuasaan
eksekutif secara riil telah berpindah ke tangan jenderal Soeharto setelah
penandatanganan supersemar.
Setelah
kudeta terselubung berhasil, Soeharto mulai menanmpakkan pengaruhnya di
pemerintahan Indonesia. Langkah pertamanya adalah “membantu” Soekarno membuat
cabinet baru di akhir Maret 1966 untuk mengganti mereka yang dicopot dari
keanggotaannya melalui penangkapan dua pecan sebelumnya.
Pergantian
cabinet menunjukkan kekuasaan telah beralih ke tangan Soeharto dan para
sekutunya. Pejabat pemerintahan AS tidak dapat menyembunyikan kegembiraan
mereka dengan apa yang terjadi di Indonesia. Soeharto dan para sekutu
militernya merasa tugas mereka yang paling penting bersifat politis untuk
menyingkirkan para soekarnois dari pemerintahan, mengakhiri konfrontasi dengan
Malaysia, melanjutkan serangan terhadap sisa-sisa PKI dan mempercepat
cengkeraman tentara atas kekuaasaan.
Dilain
pihak, para pejabat AS beragumen tugas krusial Indonesia kini menyalamatkan,
menstabilkan, dan merehabilitasi ekonomi Indonesia dengan merengkuh kembali
kepercayaan investor dan kreditor dan mengurung Indonesia dalam pengaruh barat.
Prioritas Washington di Indonesia secara tegas menggarisbawahi hubungan yang
sangat dekat antara focus anti komunismenya, kepentingan politik, dan ekonomi
yang lebih luas.
Triumvirat
Soeharto, Adam Malik dan Hamengku Bowono IX menunjukkan kemajuan stabil menuju
pemulihan ekonomi. Berupaya mendapatkan bantuan dari jepang dan Jerman, mengendalikan
kembali penerimaan valuta asing dan menahan laju inflasi harga-harga bahan
pokok. Aktivitas anti-Amerika berhenti. Washington harus segera ambil keputusan
mendasar tentang banyuan darurat mereka selanjutnya, penjadwalan ulang utang,
bantuan jangka panjang dan memulai kembali bantuan militer terbatas. Perlahan
tapi pasti Washington menunjukkan sikapnya kepada public memeluk orde baru.
Inggris, jepang, Australia melakukan hal yang sama diam-diam berkomitmen
memberi lagi bantuan ekonomi secara terbuka, mencari-cari peluang perdagangan
dan menyatakan secara terus terang kepada pejabat-pejabat Indonesia mengenai
harapan-harapan mereka soal transformasi ekonomi Jakarta dan kebijakan luar
negerinya.
Para
penasihat ekonomi Soeharto menyadari sepenuhnya bantuan asing dan penjadwalan
ulang utang harus disertai investasi swasta yang subtansial jika Indonesia
ingin tetap menciptakan momentum proses pembangunan. Richard Robison
mengatakan, pada mulanya ada sedikit keraguan para teknorat meyakini ideology
pasar untuk yang dianut IMF dan bank Dunia yang membatasi peran Negara dalam
menciptakan kondisi fiscal dan moneter untuk mengakumulasi capital. Serta
percaya pada mekanisme pasar untuk menghasilkan pertumbuhan dan efisiensi
maksimal. Mereka mengeluh tentang ketergantungan tentara pada
organiasi-organisasi peenyandang dana illegal dan tersembunyi, korupsi, dan
efisiensi perusahaan Negara yang dikendalikan tentara.
Mengingat
situasi ekonomi Indonesia sangat menyedihkan, sebagian besar teknorat percaya
mereka hanya punya sedikit plihan selain mendorong kebijakan ramah pasar kalau
ingin menarik kembali modal asing khususnya tingkat internasional. Para
teknorat ini menyebutkan jepang, korea Selatan, Taiwan dan bbukan Amerika
serikat sebagai model yang patuh dicontoh. Ini menunjukkan haluan mereka ke
Barat itu lebih karena kebutuhan, bukan karena keyakinan.
Di
Amsterdam, intergovernmental group on Indonesia (IGGI) sepakat untuk menutupi
kebutuhan neraca pembayaran Indonesia seperti yang digariskan IMF dengan
Jepang, Eropa dan Washington masing-masing bebagi sepertiga bagian. Sebagian
besar bantuan itu akan dialokasikan di bawah bonus Export System, suatu
penyimpangan dari praktik bantuan asing sebelumnya, dan menghawatirkan
mengingat korupsi yang merajalela di Indonesia. Kesepakan itu diresmikan pada
pertengahan Juni 1967 dalam pertemuan kedua IGGI di scheveningen, Swedia.
Indonesia kembali mendapat kepercayaan dari para kreditornya dan
organisasi-organisasi internasional.
Soeharto
melengkapi dirinya dengan penyeimbang institusional yang penting dengan
menghimbau terlaksananya sidang MPR sebagai sumber kekuasaan tertinggi
Indonesia untuk menyokong kedudukannya.
Pada
21 juni 1966, MPRS meninggikan status supersemar dari pelimpahan wewenang
presiden yang bias dicabut kapan saja menjadi keputusan badan tertinggi Negara
yang tak bisa dibatalkan presiden. Mengingat surat perintah 11 Maret adalah
“upaya khusus untuk mengatasi bahaya yang mengancam keselamatan pemerintah dan
arah revolusi, kekuasaan dan kepemimpinan revolusi, serta integrasi Negara dan
bangsa yang telah diterima baik oleh rakyat maupun DPRGR, MPRS memutuskan untuk
mengadopsi dan mnyetujui kebijakan presiden Soekarno yang ditetapkan dalam
Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diserahkan kepada Soeharto.
Pada
12 Maret 1966, menurut MPRS Soekarno sudah tidak mampu untuk menjalankan
tugas-tugasnya sebagai presiden berdasarkan UUD dan ketetapan MPRS. Kemudian
MPRS menunjuk Soeharto sebagai Presiden
dengan masa jabatan sampai MPR hasil pemilihan umum dapat megangkat presiden baru secara formal.
Kemudian pada sidang MPRS 27 Maret 1968, Soeharto resmi dilantik sebai
presiden.
Peralihan
kekuasaan presiden ini mempunyai makna peralihan kekuasaan eksekutif yang
secara langsung mempunyai implikasi terhadap berakhirnya pelimpahan kuasa dari
MPR dan berakhirnya kekuasaan presiden selaku kepala Negara.
Dalam
UUD 1945, peralihan kekuasaan hanya mengenal 2 macam peralihan kekuasaan, yaitu
(a) pemberhentian keekuasaan yang dilanjutkan dengan pengangkatan presiden
baru; (b) peralihan kekuasaan berdasarkan pasal 8 UUD 1945 dari presiden ke
wakil presiden. Ketentuan pasal 8 UUD 1945 mengandung arti bahwa kekuasaan
eksekutif beralih ke tangan wakil presiden yang mnyebabkan beralihnya kekuasaan
sebagai mandataris dan “kepala Negara”. UUD 1945 tidak mengatur tugas wakil
presiden.
Keputusan
MPRS untuk tidak mengisi jabatan wakil
presiden adalah tindakan yang tidak konsekuen terhadap ketentuan pasal 8
UUD 1945.
Ada
tiga pilar utama keabsahan Orde Baru (Soeharto) menurut William Liddle. Pertama
ialah dwifungsi. Dwifungsi merupakan jaminan bahwa Indonesia akan tetap menjadi
Negara Pancasila.
Pilar
kedua keabsahan Oerde Baru ialah Surat Perintah 11 Maret 1966. Dokumen ini
menghubungkan Soeharto dengan keabsahan revolusioner Soekarno sebagai pendiri
republic, membuatnya lebih dari sekadar jenderal yang berada di tempat yang
tepat dan pada saat yang tepat serta menempatkan dirinya diatas semua jenderal
yang juga merupaka ahli waris dwifungsi.
Pilar
ketiga adalah UUD 1945, lebih khusus lagi status konstisional MPR sebagai wujud
kedaulatan rakyat.
Sedikit Review (resensi) tentang
bab dua
Bab ini secara garis
besar mengisahkan sepak terjang Soeharto sejak sebelum namanya dikenal, sampai
akhirnya duduk sebagai Presiden Indonesia menggantikan Soekarno.
penulis buku yang
terlihat cukup jelas sebagai Pro-PKI ini menceritakan segala hal tentang
Soeharto yang jarang ditulis oleh penulis buku sejarah yang beredar untuk
kalangan pelajar di sekolah-sekolah. Buku ini seperti sisi lain dari Soeharto
yang belum banyak dikupas oleh sebagian buku yang beredar sekolah.
Bab dua ini menjelaskan
bagaimana cerdiknya Soeharto dalam aksi terselubung untuk mengkudeta presiden
Soekarno. Dimulai dari membiarkan G30S menculik enam Jenderal dan satu perwira
padahal dia mengetahui rencana penculikan tersebut, memberantas PKI, sampai
keluarnya supersemar yang memudahkannya untuk menduduki kursi presiden
Indonesia.
---