Posted by : Unknown Selasa, 15 November 2016

KEMUNCULAN SOEHARTO

            Nama Soeharto belum banyak dikenal sebelum 1 oktober 1965. Namanya tiba-tiba muncul setelah dirinya atas inisiatif sendiri sebagai panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (pangkostrad) mengambil alih pimpinan angkatan darat menyusul aksi penjemputan paksa enam perwira tinggi Angkatan Darat oleh Gerakan 30 Sepetember atau yang biasa dikenal dengan istrilah G30S.  Pada awal-awal kekuasaannya banyak yang mengira soeharto tidak akan bertahan lama, namun ternyata  dia memiliki kemampuan politik yang sangat tinggi.
            Pada Jumat pagi tanggal 1 Oktober 1965, sebuah gerakan yang menamai diri mereka dengan sebutan G30S dengan membawa senjata bergerak menuju kediaman perwira tinggi Angkatan Darat hendak membawa jenderal tersebut ke hadapan Presiden Soekarno. Namun pada kenyataannya mereka tidak pernah dibawa ke istana. Sekelompok bersenjata itu justru menjemput paksa dan dan membunuh enam orang jenderal dan seorang perwira pertama, yaitu Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku Menteri/Panglima angkatan Darat, Mayjen R Soeprapto selaku Deputi II menteri/panglima Angkatan Darat, Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono selaku Deputi III Panglima Angkatan Darat, Mayjen Siswondo Parman selaku Asisten I Panglima Angkatan Darat, kemudian ada Brigjen Donald Izacus Pandjaitan sebagai Asisten IV Panglima Angkatan Darat, Brigjen Soetojo Siswomiharjo sebagai inspektur kehakiman/oditur jenderal AD dan Lettu Pierre Andreas Tendean sebagai ajudan menko hankam. Kemudian ada Menko Hankam Jenderal Abul Haris Nasution tetapi meloloskan diri.
            Di tanggal yang sama, 1 Oktober 1965, RRI Jakarta mengumumkan tentang Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Komandan Batalyon I resimen Tjakrabirawa ( Pasukan pengawal Presiden Republik Indonesia) Letkol (inf) Untung. Selain itu juga diumumkan bahwa Dewan Revolusi telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta pada 5 oktober 1965. Sementara menurut Soeharto, pihak paling gencar menghembuskan isu keberadaan Dewan Jenderal adalah PKI.
Berdasarkan pengumuman dari RRI Jakarta, tanggal 1 Oktober 1965 resmi dijadikan sebagai awal berdirinya masa Ode Baru.
Soeharto sebenarnya telah mengetahui  penculikan para Jenderal beberapa hari sebelum 30 September 1965. Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti lah yang melaporkan rencana aksi Dewan Jenderal kepada Soeharto di rumahnya. Soeharto juga mendapat informasi tersebut dari salah seorang mantan anak buahnya di Yogyakarta yang bernama Soebagyo mengenai Dewan Jenderal yang hendak melakukan coup d’etat terhadap Presiden Soekarno pada 5 Oktober 1965.
Pagi hari 1 Oktober 1965, Soeharto berangkat ke kostrad seorang diri tanpa didampingi ajudan dan pengawal dalam situasi yang sedang genting.
Dalam kedudukannya sebagai Pangkostrad, Soeharto secara sepihak memberlakukan keadaan darurat. Sekitar pukul 10.00 WIB,  Soeharto menelepon Menteri/Panglima Laksyada Laut RE Martadinata, Jenderal polisi Sucipto Yudhodiharjo dan Laksyda Udara Omar Dhani, yang diterima oleh  Panglima AU Leo Wattimena, untuk memberi tahu bahwa ia mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat untuk sementara dan meminta untuk tidak menggerakan pasukan tanpa sepengetahuannya.
Di Halim Presiden Soekarno melalui Komisaris Besar Polisi Sumirat kemudian ajudan Presiden Kolonel Bambang Widjanarko memanggil panglima kodam Jaya V Mayjen Umar Wirahadikusumah dan asisten men/pangad bidang personel Mayjen Pranoto Reksosamodra pada malam hari untuk menghadap. Diwaktu yang merbeda, Soeharto menyampaikan pesan pada Pranoto dan Umar tidak dapat menghadap. Hal itu membuat Presiden Soekarno kurang senang dan marah.
1 Oktober 1965, Soeharto mampu bertindak dengan efisien yang luar biasa. Wertheim mengatakan, Soeharto sedikit banyak sudah mempunyai bayangan G30S akan terjadi dan ia tidak akan menjadi sasaran. Sejak awal ia sudah tahu inilah sebuah aksi yang bias dipakai untuk menyalahkan PKI. Masalah yang harus dihadapinya saat itu adalah apakah ia bias mengalahkan G30S dan melaksanakan rencana Angkatan Darat untuk menyerang PKI dan menggulingkan Soekarno.
John Rossa mengatakan beg terjadi. itu Soeharto pagi itu menyatakan tekadnya untuk menghancurkan G30S maka ia memutuskan untuk tidak menghiraukan perintah-perintah presiden Soekarno. Dan bentrokan dengan PKI terjadi. Soeharto tidak membiarkan presiden memberikan perlindungan kepada para pengikut G30S.
Sejak pagi 1 Oktober 1965, Soeharto sudah tahu bahwa G30S sangat mungkin dipakai sebagai dalih untuk mengantar Angkatan Darat ke tampuk kekuasaan. Kecepatan Angkatan Darat mempermasalahkan PKI,  mengorganisasi kelompok sipil antikomunis dan merancang kampanye propaganda memberi kesan adanya persiapan.
Begitu pasukan Soeharto merebut kembali Lapangan Merdeka dan stasiun RRI pada pukul 18.00 WIB, satu jam kemudian ia membacakan pengumuman yang menyatakan bahwa G30S sebagai kontrarevolusioner. Lima pimpinan inti G30S menyaari bahwa mereka telah kalah di Jakarta. Mereka tidak bias mengambil keputusan yang strategis untuk melawan Soeharto. Mereka tidak mendesak Angkatan Udara di Halim untuk mengebom konstrad pada malam hari 1 Oktober 1965. Komandan Batalyon 454 atas prakarsa sendiri hamper terlibat dalam petempuran dengan pasukan RPKAD, tapi mengundurkan diri memenuhi permintaan para perwira AURI yang tidak menginginkan adanya pertempuran di sekitar pangkalan Udara. G30S tidak lagi mempunyai sisa kelompok pasukan yang cukup besar.
Pada waktu bersamaan Atase Militer Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta colonel Willis Ethel berhasil menjalin kontak dengan jenderal Nasution yang masih dalam persembunyian. Kemudian Ethel mengirim bantuan 24 pesawat walkie-talkie dan melaui pihak ketiga menyusul bantuan senilai 400000 dollar AS berupa obat-obatan dan peralatan komunikasi.
Bantuan tersebut diputuskan CIA berdasarkan laporan konsul AS pada 2 Oktober 1965 di Medan pukul 11.56 WIB bahwa “pihak militer Indonesia akan segera melancarkan operasi menumpas PKI. Mengingat rumitnya persoalan serta luasnya implikasi selanjutnya, mereka tmpaknya membutuhkan bantuan kita.”. memo inteligen CIA pada 5 Oktober 1965 memastikan kekuatan Soekarno berikut dukungannya para loyalitasnya bakal terus melemah dan disimpulkan for Army leaders it was now or never.
Ketika menduduki Pangkalan Udara Halim, jenderak-jenderal MBAD yang telah diculik semuanya mati dan mayatnya dikubur disuatu tenpat didaerah pangkalan itu. Soeharto memerintahkan mayat-mayat mereka hanya akan digali apabila sudah diintruksikannya pada 3 Oktober 1965.
4 Oktober 1965 sore hari, dengan disaksikan para juru kamera dan wartawan televise, radio, pers, mayat keenam jenderal dan seorang perwira pertama ajudan Nasution itu diangkat dari sebuah sumur tenpat mereka dibuang.
Beberapa jam setelah pengangkatan jasad para korban pembunuhan G30S di lubang buaya di luar wilayah Halim Perdanakusuma, Soeharto memerintahkan pembentukan tim forensic yang terdiri dari dua dokter tentara brigjen dr. roebiyono dan dr. frans Pattiina dan tiga ahli forensic sipil dari fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Beberapa jam diotopsi, mayat ternyata dalam keadaan utuh, tidak ada bekas siksaan sebelum mereka dibunuh.
Jenazah para pahlawan Revolusi tersebut diberangkatkan ke TMP kalibata pada 5 Oktober 1965. Presiden Soekarno tidak menghadiri acara pemakaman tersebut akan tetapi sore harinya beliau datang ke pemakaman untuk menaburkan bunga di makam para pahlawan revolusi tersebut.
Propaganda media massa sangat efektif untuk menumbuhkan rasa kebencian masyarakat terhadap PKI dan underbouw-nya. Pembunuhan massal menjadi pemandangan yang biasa sejak Oktober 1965 dan berpuncak pada Desember 1965. Sasaran utama pembunuhan adalah kaum komunias dan yang dituduh komunis.
Pengkeramatan peristiwa yang telatif kecil (G30S) dan penghapusan peristiwa bersejarah tingkat dunia (pembunuhan massal 1965-1966) telah menghalangi empati terhadap keluarga korban laki-laki dan perempuan yang hilang. Sementara itu, berdiri sebuah monument di dekat sumur, tempat tentara G30S membuang jasad ujuh perwira Angkatan Darat 1 Oktober 1965, tetapi tidak ada satupun monument yang menandai kuburusan massal yang menyimpan ratusan ribu orang yang telah dibunuh atas  nama penumpasan G30S. begitu sedikit yang diketahui jumlah yang mati, nama, lokasi kburan massal, cara bagaimana mereka dibantai dan jati diri para pelaku. Di luar lubang buaya tersimpan misteri lebih banyak dan lebih ruwet lagi.
Sebelum peristiwa G30S meletus, setidaknya ada tiga kelompok yang saling bersaing di Angkatan Darat. Pertama, kelompok J. A.H. nasution. Kedua, Kelompok panglima Ahmad Yani. Ketiga, Kelompok Pangkostrad Soeharto. Nasution menganut garis keras dalam menghadapi Presiden Soekarno, Ahmad Yani justru merangkul sang Pemimpin Besar Revolusi dan Soeharto erdiri disudut dengan perasaan yang diremehkan kelompok Yani yang berkuasa.
Soeharto tidak mempunyai hubungai baik dengan keduanya. Tetapi, sesuatu yang tidak mungkin ia berusaha membunuh keduanya. Masuk akal ia menahan diri untuk tidak memberitahukan kepada Nasution dan Yani tentang rencana G30S karena menunggu apa yang akan terjadi. Soeharto oportunis yang cerdik dan mempunyai perhitungan sendiri. Ketika terbukti sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat dibunuh, Soeharto mempunyai alas an untuk membantai PKI dan menyingkirkan kaum Soekarnois. Dengan tindakan itu, Soeharto membangun jaringan di kalangan golongan antikomunis dan anti-Soekarno sekaligus membersihkan competitor yang menjadi penghalang mendapatkan kekuasaan setelah Soekarno jatuh.
Pecahnya peristiwa G30Sbmenyebabkan terbentuknya kesatuan aksi yang bertujuan untuk membersihkan PKI dan segenap unsurnya pada 2 Oktober 196525 Oktober 1965 dibentuk KAMI dengan membawa isu tritura (pembubaran PKI,  retoel cabinet dwikora dan turunkan harga barang) memperoleh dukungan militer. Beberapa pimpinan KAMI pusat ditangkap pada 9 februari 1966 dan ditahan beberapa hari yang membuat dukungan militer terhadap aksi-aksi mahasiswa semakin menguat.
Soeharto  dan sekutu-sekutunya secara aktif mendorong keeruntuhan ekonomi Indonesia dengan membelokkan dana dari Jakarta dan bank Indonesia untuk menciptakan pemerintahan parallel. Pemerintah AS dan inggris mengerti dan menyetujui pembentukan Negara dalam sebuah Negara yang dipimpin oleh tentara ini. Konsulatnya di medan melaporkan komandan-komandan tentara di sumatera utara mengumpulkan sejumlah uang dari para pedagang beras, penggiling karet, dan pembuat rokok sebagai biaya perlindungan. Pada awal Februari, Soeharto dan ibnu sutowo mengatakan kepada Julius Tahija dari Caltex bahwa tentara memerlukan dana untuk mengimpor kebutuhan mereka sendiri. Keduanya memerintahkan Caltex membayar 60 persen jatah pemerintah Indonesia dan pendapatan minyak ke rekening tanpa nama di Belanda bukan di Bank Indonesia.
Pengalihan tiga sumber devisa terbesar Indonesia merupakan pukulan yang telak erhdap pemerintah Soekarno dan efektif menutup akses pemerintah terhadap mata uang yang relative stabil. Sementara perekonomian Indonesia di ambang kehancuran dan pengetatatn terus membayangi, militer menghimpun sumber-sumber dana yang diperlukan untuk melanjutkan tekana tergadap PKI, mempertahankan kesetiaan para prajuritnya dan memperlihatkan ketidakberdayaan pemerintahan Soekarno untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan penduduknya.
Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden No 41/kogam/1966 yang berisi pembubaran KAMI untuk menghadapi semakin solidnya gerakan mahasiswa.
Siding cabinet lengkap berlangsung di Jakarta pada 11 Maret 1966. Mahasiswa kembali turun ke jalan menghalangilalu lintas dan mengenpiskan ban-ban mobil disekitar istana. Yang mencolok adalah ketidakhadiran Soeharto yang dikatakan sakit tenggoran ringan.
Ketika Presiden Soekarno sedang berpidato, salah seorang dari ajudannya menyela dan menyerahkan selembar nota. Nota itu berisi informasi sekelompok pasukan tak dikenal yang menanggalkan segala tanda pengenal mereka sehingga indentitasnya tak diketahui telah menduduki posisi mengepung istana.
Pangdam Jaya Mayjen Amir MAchmud, Menteri perindustrian MAyjen Muhammad Jusuf dan MAyjen Basuki Rachmat melaporkan kejadian tersebut kepada Soeharto yang memerintahkan mereka menemui Presiden Soekarno di Bogor. Senja hari mereka bertemu dengan presiden didampingi tiga dari empat wakil perdana menteri. Pembicaraan mereka menghasilkan Surat Perintah 11 Maret yang kelak terkenal dengan nama “supersemar” yang isinya presiden “memerintahkan” Soeharto untuk “mengambil segala tindakan yang dianggapnya perlu demi menjamin keamanan, ketenangan, stabilitas pemerintah dan revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi serta kewibawaan Presiden/panglima tertinggi demi kesatuan republic Indonesia dan untuk meneruskan segala ajaran pemimpin besar revolusi”.
9 Maret 1966 Soharto meminta bantuan Hasyim Ning dan dassad yang sangat dekat dengan presiden Soekarno untuk berbicara mengenai suatu surat yang bias diberikan kepada dirinya. Keduanya pergi ke Bogor pada 10 Maret 1966 dan mengusulkan pada Presiden Soekarno agar embuat surat untuk menciptakan ketertiban dan keamanan. Akan tetapi Soekarno menolak.
12 Maret 1966, Soeharto mengeluarkan perintah harian yang ditujukan kepada seluruh jajaran angkatan bersenjata dan rakyat Indonesia. Atas nama presiden, ia memerintahkan pembubaran PKI dengan segala organisasi mantelnya di seluruh tanah air, sambil tetap harus “berpegang teguh kepada panca Azimat Revolusi Indonesia”.
Harold Crouch mengatakan, tindakan Soeharto telah menjebak para pendukung presiden dalam keadaan tak berdaya untuk membelanya. Supersemar dibuat tanpa persetujuan para panglima Angkatan Laut, Udara dan Kepolisian serta kelompok Soekarnois dikalangan tentara.
Gerakan mahasiswa selesai setelah tentara berhasil mengambil alih kekuasaan dari Soekarno melalui supersemar, yang juga dianggap sebagai kemenangan mahasiswa. Soeharto melampaui wewenang yang diberikan hanya sebatas memulihkan keamanan dan tidak pernah melaporkan tugasnya pada Presiden Soekarno. Bahkan ia mendorong partai politik dan mahasiswa untuk mendongkel Soekarno dari kekuasaannya. Soekarno masih tetap aktif sebagi presiden, tetapi kekuasaan eksekutif secara riil telah berpindah ke tangan jenderal Soeharto setelah penandatanganan supersemar.
Setelah kudeta terselubung berhasil, Soeharto mulai menanmpakkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia. Langkah pertamanya adalah “membantu” Soekarno membuat cabinet baru di akhir Maret 1966 untuk mengganti mereka yang dicopot dari keanggotaannya melalui penangkapan dua pecan sebelumnya.
Pergantian cabinet menunjukkan kekuasaan telah beralih ke tangan Soeharto dan para sekutunya. Pejabat pemerintahan AS tidak dapat menyembunyikan kegembiraan mereka dengan apa yang terjadi di Indonesia. Soeharto dan para sekutu militernya merasa tugas mereka yang paling penting bersifat politis untuk menyingkirkan para soekarnois dari pemerintahan, mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, melanjutkan serangan terhadap sisa-sisa PKI dan mempercepat cengkeraman tentara atas kekuaasaan.
Dilain pihak, para pejabat AS beragumen tugas krusial Indonesia kini menyalamatkan, menstabilkan, dan merehabilitasi ekonomi Indonesia dengan merengkuh kembali kepercayaan investor dan kreditor dan mengurung Indonesia dalam pengaruh barat. Prioritas Washington di Indonesia secara tegas menggarisbawahi hubungan yang sangat dekat antara focus anti komunismenya, kepentingan politik, dan ekonomi yang lebih luas.
Triumvirat Soeharto, Adam Malik dan Hamengku Bowono IX menunjukkan kemajuan stabil menuju pemulihan ekonomi. Berupaya mendapatkan bantuan dari jepang dan Jerman, mengendalikan kembali penerimaan valuta asing dan menahan laju inflasi harga-harga bahan pokok. Aktivitas anti-Amerika berhenti. Washington harus segera ambil keputusan mendasar tentang banyuan darurat mereka selanjutnya, penjadwalan ulang utang, bantuan jangka panjang dan memulai kembali bantuan militer terbatas. Perlahan tapi pasti Washington menunjukkan sikapnya kepada public memeluk orde baru. Inggris, jepang, Australia melakukan hal yang sama diam-diam berkomitmen memberi lagi bantuan ekonomi secara terbuka, mencari-cari peluang perdagangan dan menyatakan secara terus terang kepada pejabat-pejabat Indonesia mengenai harapan-harapan mereka soal transformasi ekonomi Jakarta dan kebijakan luar negerinya.
Para penasihat ekonomi Soeharto menyadari sepenuhnya bantuan asing dan penjadwalan ulang utang harus disertai investasi swasta yang subtansial jika Indonesia ingin tetap menciptakan momentum proses pembangunan. Richard Robison mengatakan, pada mulanya ada sedikit keraguan para teknorat meyakini ideology pasar untuk yang dianut IMF dan bank Dunia yang membatasi peran Negara dalam menciptakan kondisi fiscal dan moneter untuk mengakumulasi capital. Serta percaya pada mekanisme pasar untuk menghasilkan pertumbuhan dan efisiensi maksimal. Mereka mengeluh tentang ketergantungan tentara pada organiasi-organisasi peenyandang dana illegal dan tersembunyi, korupsi, dan efisiensi perusahaan Negara yang dikendalikan tentara.
Mengingat situasi ekonomi Indonesia sangat menyedihkan, sebagian besar teknorat percaya mereka hanya punya sedikit plihan selain mendorong kebijakan ramah pasar kalau ingin menarik kembali modal asing khususnya tingkat internasional. Para teknorat ini menyebutkan jepang, korea Selatan, Taiwan dan bbukan Amerika serikat sebagai model yang patuh dicontoh. Ini menunjukkan haluan mereka ke Barat itu lebih karena kebutuhan, bukan karena keyakinan.
Di Amsterdam, intergovernmental group on Indonesia (IGGI) sepakat untuk menutupi kebutuhan neraca pembayaran Indonesia seperti yang digariskan IMF dengan Jepang, Eropa dan Washington masing-masing bebagi sepertiga bagian. Sebagian besar bantuan itu akan dialokasikan di bawah bonus Export System, suatu penyimpangan dari praktik bantuan asing sebelumnya, dan menghawatirkan mengingat korupsi yang merajalela di Indonesia. Kesepakan itu diresmikan pada pertengahan Juni 1967 dalam pertemuan kedua IGGI di scheveningen, Swedia. Indonesia kembali mendapat kepercayaan dari para kreditornya dan organisasi-organisasi internasional.
Soeharto melengkapi dirinya dengan penyeimbang institusional yang penting dengan menghimbau terlaksananya sidang MPR sebagai sumber kekuasaan tertinggi Indonesia untuk menyokong kedudukannya.
Pada 21 juni 1966, MPRS meninggikan status supersemar dari pelimpahan wewenang presiden yang bias dicabut kapan saja menjadi keputusan badan tertinggi Negara yang tak bisa dibatalkan presiden. Mengingat surat perintah 11 Maret adalah “upaya khusus untuk mengatasi bahaya yang mengancam keselamatan pemerintah dan arah revolusi, kekuasaan dan kepemimpinan revolusi, serta integrasi Negara dan bangsa yang telah diterima baik oleh rakyat maupun DPRGR, MPRS memutuskan untuk mengadopsi dan mnyetujui kebijakan presiden Soekarno yang ditetapkan dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diserahkan kepada Soeharto.
Pada 12 Maret 1966, menurut MPRS Soekarno sudah tidak mampu untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai presiden berdasarkan UUD dan ketetapan MPRS. Kemudian MPRS menunjuk Soeharto sebagai  Presiden dengan masa jabatan sampai MPR hasil pemilihan umum dapat  megangkat presiden baru secara formal. Kemudian pada sidang MPRS 27 Maret 1968, Soeharto resmi dilantik sebai presiden.
Peralihan kekuasaan presiden ini mempunyai makna peralihan kekuasaan eksekutif yang secara langsung mempunyai implikasi terhadap berakhirnya pelimpahan kuasa dari MPR dan berakhirnya kekuasaan presiden selaku kepala Negara.
Dalam UUD 1945, peralihan kekuasaan hanya mengenal 2 macam peralihan kekuasaan, yaitu (a) pemberhentian keekuasaan yang dilanjutkan dengan pengangkatan presiden baru; (b) peralihan kekuasaan berdasarkan pasal 8 UUD 1945 dari presiden ke wakil presiden. Ketentuan pasal 8 UUD 1945 mengandung arti bahwa kekuasaan eksekutif beralih ke tangan wakil presiden yang mnyebabkan beralihnya kekuasaan sebagai mandataris dan “kepala Negara”. UUD 1945 tidak mengatur tugas wakil presiden.
Keputusan MPRS untuk tidak mengisi jabatan wakil  presiden adalah tindakan yang tidak konsekuen terhadap ketentuan pasal 8 UUD 1945.
Ada tiga pilar utama keabsahan Orde Baru (Soeharto) menurut William Liddle. Pertama ialah dwifungsi. Dwifungsi merupakan jaminan bahwa Indonesia akan tetap menjadi Negara Pancasila.
Pilar kedua keabsahan Oerde Baru ialah Surat Perintah 11 Maret 1966. Dokumen ini menghubungkan Soeharto dengan keabsahan revolusioner Soekarno sebagai pendiri republic, membuatnya lebih dari sekadar jenderal yang berada di tempat yang tepat dan pada saat yang tepat serta menempatkan dirinya diatas semua jenderal yang juga merupaka ahli waris dwifungsi.
Pilar ketiga adalah UUD 1945, lebih khusus lagi status konstisional MPR sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Sedikit Review (resensi) tentang bab dua
Bab ini secara garis besar mengisahkan sepak terjang Soeharto sejak sebelum namanya dikenal, sampai akhirnya duduk sebagai Presiden Indonesia menggantikan Soekarno.
penulis buku yang terlihat cukup jelas sebagai Pro-PKI ini menceritakan segala hal tentang Soeharto yang jarang ditulis oleh penulis buku sejarah yang beredar untuk kalangan pelajar di sekolah-sekolah. Buku ini seperti sisi lain dari Soeharto yang belum banyak dikupas oleh sebagian buku yang beredar sekolah.
Bab dua ini menjelaskan bagaimana cerdiknya Soeharto dalam aksi terselubung untuk mengkudeta presiden Soekarno. Dimulai dari membiarkan G30S menculik enam Jenderal dan satu perwira padahal dia mengetahui rencana penculikan tersebut, memberantas PKI, sampai keluarnya supersemar yang memudahkannya untuk menduduki kursi presiden Indonesia.

---

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Welcome to Amalia's Blog - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -